• DUA KEADAAN ALAM YANG BERBEDA


    Waktu saya masih SMA, liburan Natal, saya pulang ke kelampai, sebuah kampung kecil yang terletak dibukit kujau, tidak terlalu jauh dari kampung Sungai Buluh, kecamatan Tempunak Sintang. Rumah kami sangat jauh dari orang lain, karna Apa’k dengan Uma’k (panggilan untuk Ayah dan Ibu dalam bahasa Dayak Seberuang) bersama abang kandung saya Sedia harus tinggal dan berladang disana. Berladang merupakan pekerjaan utama kami. Setiap pagi kami harus pergi ke ladang, dan bekerja seharian tanpa pernah tidur siang. Cara berladang suku dayak masih sangat manual, semuannya dikerjakan sendiri dan butuh waktu lama untuk berladang. System berladang sangat berbeda dengan sawah karna tempat ladang biasanya didaerah perbukitan sementara sawah di daerah yang lembab (dataran rendah) atau rawa. Dan system berladang tidak bisa panen dalam waktu cepat. Memang pekerjaan ini sangat melelahkan dan tenaga kita sangat terkuras, Tapi rasa lelah akan hilang ketika kita melihat hamparan hijau yang sangat luas. Ayunan daun padi seperti alunan melodi dengan angin sebagai composer dan juga alat penggeraknya. Tanah yang begitu subur, dan tidak pernah tesentuh pupuk. Disini padi tumbuh subur secara alami. Tanahnya berwarna gelap, terasa dingin karna lembab.
    Ladang dan rumah kami (langkau Uma) sangat dekat dengan hutan (rimba) yang begitu riuh dengan suara burung dan lempiau (sejenis monyet) terkadang saya sangat menikmati suasana ini. Riuh suara air terjun dan suara alam lainnya begitu indah dan sempurna. Burung-burung terbang sesuka hati mereka, seperti malaikat yang menari ria disurga (mungkin, hehehe) mungkin saja mereka merasakan hal yang sama sepertiku yang begitu menikmati semuannya. Saya pikir inilah keindahan yang telah dianugerahkan Tuhan untuk kami. Kehidupan yang begitu alami, murni dan tenang. Sangat sempurna. Oh…. Emh… Saya sangat terkesan.

    Pada hari minggu kami berlibur untuk tidak pergi keladang (Uma) kakak saya Sedia meminta saya untuk menemaninya memancing di dekat air terjun Pelabuh Batu Nindin yang letaknnya lumayan jauh dari langkau Uma. Kami bisa mendapatkan banyak ikan disana. Daerah ini merupakan Hutan asli Kalimantan yang masih murni. Suasananya begitu berbeda dan kadang mencekam. Namun keindahan air tejun Pelabuh Batu Nindin membuat aku lupa akan suasana hutan yang mencekam tersebut. Disini lumayan gelap, walaupun disiang hari, karena pancaran sianar mata hari terhalangi oleh dedaunan pohon hutan yang sangat rimbun dan subur. Pohon-pohon kayu begitu besar seperti raksasa yang tinggi menjulang dan tumbuh kuat serta terlihat sangat subur. Akar pohonnya yang banyak merambat di tanah seperti jari-jari yang berpeggang sangat kuat di bumi.

    Sepulang dari memancing saya sempatkan diri mandi di suangai merayak, karna dari kecil saya sangat senang mandi di sungai hehe.. :) Sungai ini letaknya tidak telalu jauh dari langkau uma (rumah ladang) airnya begitu jernih dan sejuk, saya bisa melihat ikan-ikan dan udang-udang kecil bermain dipingiran batu sungai. Apa bila saya membiarkan kaki saya lama di dalam air tanpa bergerak sedikit pun, udang-udang kecil itu mulai datang dan menggigit kaki atau tangan saya. Sedikit saja saya menggerakkan kaki, mereka bergegas pergi menjauh. Wah… udang-udang kecil yang sangat ramah dan nakal, hehehe… Sejenak saya memperhatikan bermacam-macam jenis kupu-kupu terbang disekelilingi bunga hutan dengan bermacam warna alami mereka. Riuh suara burung dan air terjun membuat suasana seperti ini begitu indah dan sempurna.. dipinggir amparan batu sungai, tumbuh pohon bunga hijau yang menghiasi pinggiran sungai. Saya merasa sangat bahagia, suasana alam ini telah memberikan effect positif pada perasaan bawah sadar saya dan mempengaruhi pikiran saya menjadi lebih bahagia. Respon hati/perasaan yang begitu lembut dengan suara merdu hutan ini telah menciptakan ketenangan. Saya ingin semua keindahannya akan selalu terjaga seperti ini. Munking suasana surga bisa saja seperti ini.

    Hari libur kami hampir selesai, jadi saya harus pulang kembali ke kota Sintang untuk kembali belajar disekolah. Sepanjang pejalanan menuju kota Sintang, saya hanya melihat hamparan kebun Sawit. Debu jalanan begitu banyak dan menyulap jaket putih saya menjadi kuning. Saya tidak tau pasti berapa hektarkah jumllah kebun sawit yang telah saya lalui, yang jelas saya tidak melihat ada hutan disana. Pikiran saya kembali kepada deareh Kelampai atau hutan bukit Kujau yang begitu indah dan tenang, bahkan debu sekalipun tidak terlihat disana. Mengapa suasananya begitu berbeda..??? panas matahari langsung menembus tubuhku yang kecil dan membuat warna kulitku merah seperti terbakar. Sungai-sungai yang kami lewati sepanjang jalan tidak ada yang jernih dan munkin tidak banyak udang dan ikan kecil yang bermain di dalamnya. Sungainya telah tercemari.

    Tanah gersang ada dimana-mana bahkan rumput hijau seperti enggan untuk tumbuh, apalagi sejenis tumbuhan bunga hanya daun ilalang yang tajam yang bergembira ria mengayunkan daun mereka yang tertiup oleh hembusan angin. Apalagi dimusim kemarau seperti ini membuat jalan semakin kering dan berdebu. Belum sampai 2 jam saya merasa sulit untuk bernafas, debu jalanan telah mengotori hidung (saluran pernapasan), dan merasa sangat sesak. Sekarang saya bisa membandingkan dua rasa yang sangat berbeda antara berada di hutan hijau dan di hamparan kebun sawit dengan jalan yang berdebu. Sungguh sangat tidak nyaman dan alam yang tidak bersahabat sama sekali. Dan saya merasa sangat kesal dengan suasana seperti ini.

    Saya pikir, apabila suatu saat nanti semuannya seperti ini dan tidak ada hutan lagi, apakah generasi penerus atau anak cucu saya akan merasakan hal yang sama dengan apa yang telah saya rasakan dan saya dapatkan di hutan yang murni seperti di kelampai? Munkin tidak, dan mungkin mereka tidakkan pernah bersyukur pada Tuhan dan pencipta alam seperti apa yang saya rasakan dan lakukan. Karna mereka tidak akan pernah merasakan ketengan disana. Mungkin mereka juga tidak tahu akan kebesaran Tuhan yang telah menciptakan semuannya begitu indah dan sempurna. Dari awal kehidupan Tuhan meminta kita untuk merawat dan menjaga apa yang telah kita miliki bukan untuk merusaknya.

    Semenjak saat itu saya bertekat untuk mejaga hutan saya yang indah, agar slalu tercipta rasa damai disana.

    Semasa saya masih kecil, saya pernah mendengar sebuah peryataan tentang “Kalimantan adalah Paru-paru Dunia (Borneo is the heart of Earth).” Karna kalimanta merupakan hutan asli yang menyimpan banyak kekayaan alam, baik fauna maupun flora. Namun peryataan tersebut sudah tidak terbukti lagi kebenarannya. Masalahnya kekayaan-kekayaan tersebuh sudah hampir punah.

    Saya tidak bisa menyayangkan apa yang telah terjadi, karna sesuatu yang telah hilang mungkin tidak bisa didapatkan kembali, tapi saya masih berharap semoga semua yang masih tersisa dapat tetap dijaga keutuhannya. Agar masih ada kehidupan yang tenang disana. Paling tidak Kalimantan masih meyimpan hutan hijau.

6 comments:

  1. Unknown said...

    boleh ne ikutan mandi di sungai.... hehehehe... lol... ;p
    good description... wanna go to there asap...

  2. Unknown said...

    thank sobat..... :)
    boleh dunk klo bersedia hehe..... :D

  3. Unknown said...

    Mantap diss....
    jdi gauk ngau kampung uii..
    asa t kak langsung plai..ckckckck

  4. Unknown said...

    Makasih Zan.....
    aku malah gauk manik d sungai....

  5. Unknown said...

    duduk temenung medak bulan te tumuh asai ati tulih kak pulai. gauk ke kampung. heheheheee.

  6. Unknown said...

    asai ati tulih kak pulai

Post a Comment